Selasa, 14 Maret 2017

Sejarah Perkembangan Musik Jazz Indonesia


Musik jazz memang bukanlah genre musik paling populer, namun setidaknya jazz sudah memiliki fondasi yang kuat di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan cukup banyaknya keberadaan komunitas penggemar jazz di Indonesia. Jazz dikenal lewat nada irama yang pelan dan easy listening. Selain itu jazz juga memiliki ciri khas intrumen berupa gitar, saksofon, trumpet, biola, piano dan instrumen alat musik lainnya. Perkembangan musik jazz memiliki sejarah yang cukup panjang. Jazz juga memiliki subgenre jenis aliran musik jazz yang cukup banyak. Perkembangan musik jazz juga telah masuk di Indonesia dan kini sudah mulai populer. Berikut akan kami sajikan sejarah lengkap perkembangan jazz di negara Indonesia.

Sejarah Perkembangan Musik Jazz Indonesia

Di Indonesia, musik jazz pertama kali masuk pada era 1930-an yang dibawa oleh musisi musisi dari negara Filipina. Musik jazz yang dibawa imigran Filipina pertama kali hanya diperdengarkan di Jakarta saja. Dengan ciri khas instrumen trumpet dan saksofon, musik jazz sempat populer di kota Jakarta saat itu. Musisi musisi Filipina ini banyak memainkan lagu lagu ritme jazz seperti latin dan boleros di hotel-hotel di Jakarta. Mereka juga memainkan lagu lagu jazz mereka di kota-kota lain seperti Bandung dan Surabaya yang membuat jazz mulai dikenal di seluruh Indonesia.

Di tahun 1948, musik jazz kembali dibawa oleh grup dan musisi orkestra simfoni asal Belanda bersama dengan musisi musisi lokal. Setelah itu grup band jazz asal Indonesia pun banyak yang bermunculan, seperti Iskandar's Sextet, The Progressive Trio, The Old Timers atau Octet. Selain itu juga ada kelompok Jazz Riders yang populer di era 50-an yang dibentuk oleh musisi Bill Saragih. Di era tersebut juga terdapat grup Jack Lemmers asal Surabaya yang mampu eksis. Sementara di Bandung juga terdapat musisi musisi jazz senior seperti Eddy Karamoy, Joop Talahahu dan Iskandar.

Di tahun 1980-an, alur perkembangan musik jazz Indonesia makin gencar dengan munculnya musisi musisi dan penyanyi jazz Indonesia yang berbakat seperti Ireng Maulana, Benny Likumahuwa, Oele Pattiselano atau Elfa Secioria. Mereka piawai dalam berbagai instrumen musik jazz mulai dari gitar, piano, bass, trombon, biola, saksofon atau vokal. Kepopuleran jazz membuat genre musik ini makin digemari dan menarik kalangan musisi muda Indonesia.

Berbagai subgenre jazz hasil kombinasi dengan genre lain seperti rock jazz atau fusion jazz mulai muncul di Indonesia. Musisi Fariz RM misalnya, mampu mempopulerkan musik jazz dengan genre new age yang merupakan kombinasi musik pop jazz dan latin. Selain itu juga terdapat grup jazz Krakatau yang terdiri dari Indra Lesmana, Donny Suhendra, Dwiki Darmawan, Gilang Ramadan dan Pra B. Dharma yang populer dengan musik jazz mereka, yang kemudian berubah nama menjadi Java Jazz.

Era musik modern di awal modern, musik jazz kian bertransformasi dengan genre musik lain. Ada banyak musisi dan penyanyi beraliran jazz yang populer dengan memadukan dengan genre dan jenis musik lain. Dewa Budjana, Andien, Tompi, Syaharani hingga grup band Maliq & D'Essentials adalah contoh musisi jazz yang non-mainstream. Mereka pun masuk dalam deretan penyanyi jazz Indonesia terbaik saat ini.

Saat ini musik jazz pun banyak digemari dan sering diputar di kafe-kafe di kota kota besar di Indonesia. Ada banyak komunitas komunitas jazz yang tersebar di Indonesia, terutama di kota Jakarta, Surabaya, Bandung atau Bali yang memang sering mengadakan konser Java Jazz dan festival jazz lainnya.

Minggu, 12 Maret 2017

Alat Musik Berbahan Unik



Alat musik yang ada di dunia ini sangat beragam, baik bentuk maupun cara memainkannya. Seperti alat musik gitar yang dipetik, biola yang digesek, atau drum yang ditabuh. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sebagian orang yang biasa memainkan alat musik, merasa bosan dengan kehadiran alat musik atau instrument yang sudah ada, sehingga ia akan mencari atau menciptakan penemuan alat musik baru.
Ya, di tangan orang-orang kreatif, alat musik ternyata bisa dibuat dari bahan tidak lazim, yang tidak terpikirkan oleh kebanyakan orang. Mereka mengolah sebuah benda demi menemukan alat musik yang menyajikan sentuhan lain dari biasanya. Bahkan, penemuan alat musik berbahan unik ini, diciptakan agar memiliki nada tersendiri, dan jika digabungkan, akan tercipta sebuah instrumen yang terdengar menakjubkan.
Selain karyanya yang unik, cara memainkannya pun memerlukan keahlian khusus. Berikut uniknya.com 5 alat musik berbahan unik:


1. Gitar Berbentuk Star Wars
Semua orang tahu film Star Wars. Film fiksi ilmiah ini telah menghasilkan banyak produksi film, buku, permainan video, dan serial televise. Bahkan, karena kecintaannya pada film star wars, salah satu penggemarnya mampu memadukan alat musik gitar, dengan desain seperti pesawat antariksa ala star wars. Rancangan ini sengaja dibuat dibuat oleh Tom Bingham, seorang pensiunan printer, asal Corby, Northants. Ia menghabiskan waktu beberapa bulan untuk membuat gitar bertema star wars, yang ia namakan dengan the millennium falcon. Gitar ini dibuat dengan menggunakan 140 potongan model pesawat star wars, sedangkan isi komponennya menggunakan beberapa merk gitar seperti Hasbro, Westfield, Fender, dan Telecaster.
Uniknya lagi, Bingham membuat gitar listrik berbentuk millennium falcon itu menggunakan olahan bahan bekas. Tidak hanya model millennium falcon saja, pria berusia 60 tahun itu ternyata telah membuat 20 desain gitar dengan berbagai bentuk unik, dan tidak hanya terbatas pada tema star wars saja. Ayah yang telah memiliki dua anak ini juga berhasil menciptakan gitar dari mesin piringan hitam, gitar dari papan catur, gitar dari tongkat kriket, hingga gitar berbentuk kotak rokok. Bahkan setiap gitar yang ia ciptakan, memiliki detail sangat sempurna. Yang pasti, semua yang ia buat memang unik dan menarik. Meski terlihat seperti mainan, tetapi koleksi gitar futuristic nya itu bisa dimainkan untuk bermusik, seperti gitar listrik pada umumnya.
Karena begitu populer, saat ini kreasi gitar Tom telah dipajang di sebuah galeri di Corby, Northamptonshire, Inggris. Tom mengaku banyak kolektor yang telah mencoba membeli koleksi gitar buatannya tersebut. Namun, Tom menolak dan menegaskan bahwa koleksinya tidak untuk dijual. Menurutnya, ini adalah koleksi kesayangan yang tidak akan pernah ia jual, sekalipun dengan tawaran yang tinggi.
 rd?url=%2F%2Frd%3Furl%3D%252F%252Frd%253
2.  Alat Musik Terbuat dari Buah dan Sayuran
Alat musik berbahan unik berikutnya adalah, cucumbers phones, atau alat musik berbahan sayuran. Tak hanya jadi santapan lezat bergizi, ternyata sayuran juga bisa disulap menjadi sebuah alat musik yang mengeluarkan suara merdu. Buktinya, suara 40 kg ketimun, kentang, bawang perai, lobak, merica, telur, dan sumsum, telah menarik perhatian para penonton saat konser The Vegetable Orchestra berlangsung.
Grup ansambel Austria yang terdiri atas 3 wanita dan 6 pria ini, menyatakan jika instrumen yang mereka mainkan, diiris dan dirangkai satu jam sebelum pertunjukkan. Orkestra yang terdiri atas 9 bagian itu, memainkan serangkaian komposisi asli instrumen-instrumen yang terdiri atas sayur-mayur, seperti flute yang terbuat dari wortel, saksofon dari ketimun, dan semacam labu dijadikan bas double.
Piringer sang pendiri komunitas orkestra, mengatakan bahwa meski ada unsur elektronik, ia memastikan bahwa bunyi  yang mereka hasilkan sangat khas dan sulit ditiru oleh alat-alat musik elektronik, tetapi ia mengaku butuh proses panjang sebelum musik dari sayuran tersebut bisa ditampilkan. Sebab, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Mereka harus mensurvei terlebih dahulu pasar lokal yang menjual sayuran paling segar. Sebab, untuk menghasilkan suara yang tepat, kuncinya adalah memilih ukuran, susunan sayur yang masih segar, dan mengandung banyak air, sehingga nada yang dihasilkan lebih akurat.
Lihat saja hasilnya, alunan musik dari instrumen sayur-mayur yang unik dan indah, telah memukau ribuan penonton di berbagai penjuru dunia. Mulai dari Belfast hingga Hongkong, total mereka telah mengadakan 200 konser. Dan uniknya lagi, setiap konser usai, sayuran yang mereka gunakan sebagai instrumen, akan mereka bawa pulang sebagai bahan sup, dan santapan lezat lainnya.
rd?url=%2F%2Frd%3Furl%3D%252F%252Frd%253
3. Balloon Music
Alat musik berbahan unik lainnya adalah, balloon music. Dari teksturnya yang lentur, balon memang bisa diajdikan aneka ragam bentuk benda, mulai dari dekorasi, hingga mainan anak-anak. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, balon juga bisa difungsikan sebagai alat musik. Meski belum populer di masyarakat, balon sebagai alat musik ternyata sudah pernah diciptakan. Addy Somekh ialah salah satu penciptanya, pria asal Amerika Serikat ini, telah menciptakan kreasi unik yang mampu membuat balon menghasilkan nada-nada yang tidak kalah dengan nada dari alat musik modern. Dan ia telah membuatnya bass balloon, yaitu balon yang dikaitkan dengan senar, dan ternyata menghasilkan nada bas yang keren.
Kurangnya bakat sebagai seorang musisi, membuat Somekh memutar akal untuk menyatakan mimpinya sebagai seorang musisi jazz. Namun, berkat bass balon yang ia ciptakan pada tahun 2005 yang lalu, cita-citanya sebagai musisi pun berhasil ia wujudkan. Meskipun ia harus bereksperimen dengan menyulap balon, sebagai alat musiknya, tetapi yang tidak terdugam ritme nada yang ia mainkan pada balon bass, ternyata mampu menghibur orang sekitar. Bahkan, ia sukses merilis album yang berisi instrumen musik dari alat kreasinya sendiri. Tidak hanya itu, ia juga mengundang sejumlah musisi lainnya untuk bermain bersama di atas panggung.
Eksperimen Somekh tidak hanya berhenti pada penciptaan balon yang menghasilkan suara bas, tetapi ia juga begitu terampil mengkreasikan balon menjadi ragam bentuk yang unik, seperti balon berbentuk bunga, balon berbentuk cincin, hingga balon berbentuk mahkota, dan patung balon. Bahkan untuk menghibur para penggemarnya, ia telah melakukan perjalanan lebih dari 34 negara di 5 benua, dan di seluruh Amerika Serikat, untuk memainkan bass balon, dan menciptakan balon topi bagi orang-orang dari berbagai latar belakang budaya, dan usia, dengan sukacita dan tawa.


4.  The Fence
Alat musik the fence juga terbilang sangat unik dan tidak biasa. Alat musik ini dibunyikan menggunakan kawat pagar yang digesekkan dengan menggunakan busur biola. Karena ketegangan pagar kawat membentuk resonansi, maka saat busur digesekkan atau ditepuk, akan menghasilkan suara musik yang bergema dan bernada.
Alat musik ini merupakan hasil cipta seorang musisi asal Australia bernama Jon Rose. Jika pada umumnya pagar diciptakan sebagai batas yang memisahkan dan membagi umat manusia, tetapi oleh Jon Rose, untaian panjang kawat berhasil ia sulap menjadi alat musik yang menghasilkan suara menakjubkan. Bahkan, sejak tahun 2002, Jon Rose dan salah satu rekannya, Hollis Taylor, telah bepergian sepanjang 16.000 km, untuk bermain dan merekam suara unik dari ratusan pagar di setiap negara bagian Australia.lat musik yang ia namakan the fence ini, berawal dari inspirasi saat ia mendengar suara berdenging, di sekitar pagar kawat. Suara tersebut, timbul oleh hembusan angin kencang di Australia. Saat itulah ia merasa penasaran, dan mulai bereksperimen untuk menciptakan instrument musik, tetapi dengan menggunakan busur biola, konsep alat musik unik yang diusung oleh Jon Rose ini bisa menghasilkan gelombang nada yang nyaring, menggema, dan terdengar aneh. Namun, inilah keunggulan dari alat musik ciptaan Jon. Instrumen musiknya yang begitu sederhana, komunikatif, dan memberikan nuansa yang berbeda.
Namun, untuk memainkan gesekan kawat, bukanlah hal yang mudah baginya. Ia harus berhati-hati saat mencari ritme nada pada bidang pagar kawat yang tajam, dan sebelum pertunjukannya di mulai, sebelumnya ia harus mendapat izin dari warga setempat.
rd?url=%2F%2Frd%3Furl%3D%252F%252Frd%253
5. Musical Saw
Sesuai dengan namanya, musik gergaji ini adalah instrumen musik gesek yang menggunakan gergaji kayu sebagai medianya. Gergaji musik pertama kali diproduksi dan dipopulerkan di Amerika Serikat, selama lebih dari satu abad. Gergaji kayu yang digunakan, memiliki panjang sekitar 30 cm, dan digesek dengan menggunakan busur biola. Suara yang dihasilkan menyerupai suara orang yang sedang bersiul, tetapi dengan sedikit teknik tertenu, alat musik gergaji ini dapat menghasilkan nada yang harmonis, dan enak didengar. Maka tidak heran, jika sebagian musisi memilih alat musik gergaji sebagai inspirasi untuk menyalurkan seni.
Karena menggunakan media gergaji yang tidak sulit ditemukan di sekitar kita, teknik permainannya pun boleh dibilang cukup sederhana. Dengan bantuan duduk di kursi dengan kaki menapak di lantai, dan kedua paha menjepit gagang gergaji. Lalu tangan kanan memegang busur biola, sambil menggesek bagian tumpulnya, sedangkan tangan kiri, memegang ujung gergaji untuk menentukan tinggi rendahnya suara saat melengkungkannya. Alhasil, alat musik berbahan unik ini menghasilkan suara yang unik dan indah saat dimainkan.
Tiap kali tampil, musik gergaji selalu saja menjadi instrumen yang banyak mendapat perhatian orang. Selain memang unik, suaranya juga membuat orang terpukau. Salah satu musisi yang sering tampil menggunakan alat musik ini adalah Austin Blackburn. Seorang pemuda asal Inggris ini sempat tampil begitu memukau di depan para juri pada acara ajang pencari bakat di Inggris, pada tahun 2008 silam. Saat itu, ia memainkan instrumen lagu berjudul You Raise Me Up dengan menggunakan alat musik gergaji. Mulai dari situlah namanya mulai dikenal, bahkan ia disebut-sebut sebagai maestronya musik gergaji. Dan kini, ia kerap tampil di berbagai konser musik klasik di beberapa negara dunia.
9 Musisi Ethnik Modern 'World Music' Dari Indonesia 



+++++

Teman-teman pasti pernah mendengar musik ethnik atau yang biasanya dikenal sebagai musik tradisional. Nah, pada kesempatan kali ini saya ingin membahas mengenai siapa saja sih musisi ethnik yang terkenal di Indonesia & di mancanegara, karena genre/jenis musik yang satu ini merupakan peleburan serta pencampuran antara jenis musik modern & musik ethnik, penasaran kan !! yuk kita lihat siapa saja sih 9 musisi tersebut, cekidot :


1. Tohpati Etnomission



Etnomission adalah lanjutan eksplorasi Tohpati terhadap musik tradisi yang telah ia mulai di dua album terakhirnya. Tohpati Ario Utomo, begitu nama lengkap gitaris kelahiran Jakarta 25 Juli 1971 ini akan menampilkan komposisi dengan atmosfir Indonesia yang lebih modern. Dibanding yang sudah, eksplorasi di proyek ini lebih dalam dengan bagan yang lebih kompleks dan lebih kental warna etniknya. Ekspresinya juga lebih liar dan tidak ada tuntutan komersial. Meski bermain di wilayah idiom musik etnik, Bontot, begitu kerap ia disapa, tetap mempertahankan musiknya di koridor diatonis. Pementasan di Bentara Budaya adalah penampilan kedua gitaris yang pernah bermain bersama kuartet jazz Yellowjackets ini dengan konsep Etnomission akan menggandeng bassis Indro Hardjodikoro, Demas Narawangsa (drums), Endang Ramdan (kendang) dan Diki Suwarjiki (suling tradisi) “Saya ingin memperkenalkan seperti apa wujud konsep ini.”


2. I Wayan Balawan



I Wayan Balawan (lahir di Gianyar, Bali, 9 September 1973; umur 38 tahun) adalah pemusik Jazz Indonesia. Balawan adalah seorang gitaris Jazz yang nama mencuat dan semakin difavoritkan di Indonesia dengan teknik bermain gitar Touch Tapping Style. Balawan membentuk Batuan Ethnic Fusion yang mengusung eksplorasi musik tradisional Bali. Sepulangnya Balawan dari Australia, ia kembali ke tanah kelahirannya membentuk band Batuan Ethnic Fusion yang menggabungkan alat musik gitar, drum, bass dengan alat-alat musik tradisional Bali melahirkan sebuah aliran dalam jazz yang akan menjadi ciri khasnya sampai saat ini. Pada masa ini Balawan mulai mengembangkan teknik tapping yang dikenalnya ketika berusaha meniru Eddie Van Hallen pada masa kanak-kanak, ia berusaha memainkan nada-nada jazz dengan pentatonik nada-nada Bali dengan hampir semua jarinya. Perjumpaannya dengan Stanley Jordan dan berkesempatan untuk adu kemampuan makin menguatkan keahliannya dalam memainkan gitar. Bersama Batuan Ethnic Fusion Balawan melahirkan album Globalism dan disusul oleh album-albumnya yang lain.


3. Vicky Sianipar



Viky Sianipar (lahir di Jakarta pada 26 Juni 1976) merupakan seorang penyanyi dan komponis. berkebangsaan Indonesia. Dia merupakan penyanyi bersuku batak. Berkarier di dunia musik sejak tahun 2002. Satu hal yang layak diacungi jempol dari arranger Viky Paulus Sianipar ialah usahanya menjiwai musik Batak. Sebab, sejak kecil, hingga sekarang ini jarang bersentuhan dengan lagu dan budaya Batak. Ngomong Batak saja ia tak pandai. Namun, Viky memiliki lingkungan yang kental dengan adat Batak. Itulah yang membawanya pada tradisi batak dan menghasilkan sebuah pertunjukan bernama Save Lake Toba. Benang merah pertunjukan itu adalah modernisasi lagu klasik Batak. Tidak hanya musik batak yang dikuliknya, bahkan notasi-notasi musik-musik daerah semacam gondrang dari banyuwangi dan not sundanya juga dikuliknya yang tergabung dalam albumnya Toba Dream dan Indonesia Beauty, sahabat yang selalu setia adalah keyboardnya yang selalu menemaninya dalam setiap karyanya.

4. Tangke Band



TANGKÉ Band beranggotakan Subur Dani Meujangeuen (vocal), Joe (Guitar), Putra (Guitar), Doni (Bass), Evans (Drum), Wien (Biola), Andar (Rapa-i), Hafizar (Geudrang), Arif (Rapa-i), dan Kiki (serune Kalee/Fluet). Grup yang beraliran The Modern Etnic Music of Aceh ini sedang menggarap album di Opay Studio (Home Music recording) di Banda Aceh yang perencanaanya diliris setelah lebaran, di antaranya Opening Gura, Saleum, Bala Lam Nanggroe, Meuleuha serta Syair dan Hikayat-hikayat Aceh yang djadikan materi dalam album perdana mereka. Baru-baru ini mereka tampil di sebuah festival world music di Belgia & mendapat sambutan hangat.


5. Yusi Ananda



Namanya belum begitu dikenal di peta musik Indonesia. Tapi Yusi Ananda mampu menembus pasar musik dunia lewat lagu-lagu bercorak World Music. Ketiga Musisi indonesia baru tahap mencoba menjajaki merekam lagu-lagunya untuk dipasarkan di bursa musik internasional, diam-diam Yusi Ananda sudah merampungkan rekaman solo album berjudul Borneo World Music Collection yang diedarkan di Amerika, Eropa, Australia, Asia, dan Afrika. Solo Albumnya diedarkan perusahaan rekaman Peter Music Factory yang bermarkas di Belanda itu, mengemas 12 lagu ciptaannya, antara lain berjudul Busang, Hegemony, Rain Forest, Travelling to Mahakam, dan Leleng. Musik yang disajikannya adalah musik kontemporer. Paduan musik etnik Dayak dan musik modern yang proses penggarapannya dikerjakan di studio miliknya di Samarinda. "Penggarapannya memakan waktu kurang lebih satu tahun, " tutur musisi, pencipta lagu, dan penyanyi ini. "Mulai dari membuat konsep, mencari circle chord-nya sampai menjadi master." Lamanya proses pembuatan lagu-lagu itu, disebabkan oleh langkanya peniup alat musik kadirek. Menurutnya, peniup alat musik yang terbuat dari buah kadirek yang dikeringkan itu, sekarang ini hanya tinggal satu orang. Menetap di pemukiman suku Dayak di Muara Lawa, Kutai, Kalimantan Timur. "Desanya itu hanya bisa ditempuh melalui sungai Mahakam dengan lama perjalanan sehari semalam. Sedangkan kondisi peniup kadirek itu sudah sakit-sakitan. Untungnya orang tua tersebut mengizinkan saya men-sampling bunyi kadirek yang ditiupnya," jelasnya. Selain kadirek, Yusi Ananda juga memboyong sampe. Menurutnya, alat musik tradisional Dayak bertali senar empat yang dimainkannya sendiri, dibutuhkan untuk memperkaya bunyi musik di lagu ciptaannya. Tidak hanya itu. Pria yang sudah merilis album berjudul Damaikan Dunia (95), Jangan Jatuh Cinta (97), dan July - Kenangan Biasa (2000) ini, juga menghadirkan bunyi hujan, petir, dan suara serangga hutan pada lagu-lagunya. "Jadi yang mendengarkan lagu saya akan terbawa perasaanya ke suasana alam," ungkap pria yang mengenyam pendidikan hotel dan turis di Swiss, serta mengambil program MBA di John Luther Business School, USA. Mengenai nilai kontrak albumnya yang dilempar ke pasar musik dunia itu, Yusi Ananda mengaku menerima 15.000 dollar Amerika. Dalam kontraknya itu tertulis, jika albumnya terjual diatas 100 ribu keping, Yusi Ananda akan mendapatkan royalti.


6. Dwiki Dharmawan



Dwiki Dharmawan (lahir di Bandung, Jawa Barat, 19 Agustus 1966; umur 45 tahun) adalah seorang pemusik jazz asal Indonesia berdarah Sunda. Dwiki merupakan salah satu anggota grup musik Krakatau.Pada tahun 1990, Dwiki memutuskan untuk menekuni berbagai musik tradisi Indonesia, dimulai dengan eksplorasinya dengan musik Sunda, tanah kelahirannya dan kemudian merilis album Mystical Mist serta Magical Match. Dwiki juga bereksplorasi dengan berbagai kekayaan tradisi mulai dari Aceh, Melayu, Jawa, Bali, dan musik-musik Indonesia Timur. Pada tahun 2005, Dwiki menjadi co-music director untuk pagelaran musik spektakular Megalithicum Quantum di Jakarta dan Bali. Bersama Krakatau, Dwiki telah melanglang buana ke berbagai benua, di antaranya, Midem-Cannes 2000 Perancis, Sziget Festival 2003 – Hongaria, Lincoln Center Out of Door Festival 2004 – New York, North Sea Jazz Festival 2005 – Belanda, Montreux Jazz Festival 2005 – Swiss serta puluhan penampilan lainnya di Cina, Jepang, Australia, Spanyol, Bulgaria, Romania, Serbia – Montenegro, Republik Ceko, Republik Slovakia, Venezuela, Malaysia, dan Singapura. Musik Krakatau telah mendapat pengakuan secara Internasional, antara lain dari Jurnal Worlds of Music yang diterbitkan di Amerika Serikat yang menyebut Krakatau sebagai bagian penting dari khazanah World Music. Hal ini karena Krakatau dianggap berhasil memadukan gamelan serta musik-musik tradisi Indonesia lainnya dengan jazz dengan pencapaian musikal yang pas. Bersama Krakatau, hingga 2006 Dwiki telah merilis 8 album, yaitu First Album (1987), Second Album (1988), Kembali Satu (1989), Let There Be Life (1992), Mystical Mist (1994), Magical Match (2000), 2 Worlds (2006), dan Rhythm of Reformation (2006). Sedangkan album solo Dwiki adalah Nuansa (2002) didukung oleh musisi kaliber dunia seperti Mike Stern, Lincoln Goiness, Richie Morales, Neil Stubenhaus, Ricky Lawson dan Mike Thompson dari Amerika Serikat serta beberapa musisi Australia seperti Steve Hunter, David Jones dan Guy Strazullo.


7. Sruti Respati



Pernah menjadi Ikon Event Pariwisata kota Surakarta ‘SIPA 2010’ Solo International Performing Art, dipercaya mewakili Indonesia dalam ASEAN-Korean Traditional Music Orchestra dua tahun berturut-turut, bergabung dalam musisi vocal Drama Wayang Swargaloka di bawah bimbingan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, dan masih banyak lagi prestasi dan penghargaan yang didapat wanita berparas ayu asal Solo ini. Namanya Sruti Respati, tak hanya bersuara merdu, jika melihat berbagai pengalaman khususnya dalam dunia pertunjukan dan prestasinya, ia pantas disebut sebagai wanita serba bisa. Satu hal lagi, mengabdikan hidup pada seni dan budaya Jawa, membuat wanita kelahiran 26 September 1980 ini terus bermimpi dan yakin bisa membawa seni budaya Jawa keliling dunia. Dibesarkan dengan budaya tradisi ternyata membawa keuntungan tersendiri. Sejak kecil Sruti sudah aktif dalam berbagai kegiatan seni dan budaya Jawa. Sejak TK sudah sering mengikuti lomba lagu dolanan. Setiap hari ikut ayahnya yang berprofesi sebagai dalang, sampai akhirnya ia dipercaya menjadi sinden dalam setiap pertunjukan ayahnya. Suara merdunya diakui Sruti didapat dari ketekunan ibunya mengajarkan bagaimana cara membawakan lagu Jawa yang baik dan benar. Ia pun semakin serius mendalami dunia tarik suara setelah bergabung dan belajar pada dua komposer terkenal asal Jawa Tengah, Darno Kartawi dan Dedek Wahyudi. Hasilnya penghargaan dan pengalaman bergabung dalam berbagai kegiatan musik pernah dirasakan wanita yang pernah menjadi pengisi suara solist TVC Wonderful Indonesia untuk promosi Pariwisata Indonesia ini. Penghargaan yang membawa nama Indonesia paling berkesan menurut Sruti adalah dipercayanya dia menjadi wakil dari Indonesia untuk ASEAN-Korean Traditional Music Orchestra tahun 2009-2010 lalu. “Aku nyanyi keroncong di depan 11 kepala Negara se-Asean.


8. Henri Lamiri



Hendri Lamiri mulai bermain sejak masih kanak-kanak, karena dibesarkan dari keluarga seniman musik di Pontianak. Hendri dapat menguasai berbagai jenis alat musik sejak umur 10 tahun. Pada umur 6 tahun, Hendri secara khusus tampil solis Biola di hadapan Presiden Soeharto dalam rangka peresmian Jembatan Kapuas di Pontianak. Pada tahun 1982, Hendri menjadi gitaris cilik dan meraih juara bermain gitar pada Porseni (Pekan Olah Raga dan Seni) Tingkat Nasional. Pada tahun itu pula Hendri menjadi solis biola pada Orchestra Pontianak. Hendri belajar music secara otodidak dan memulai karirnya pada tahun 1989 di Jakarta. Selain sebagai Violis, Hendri juga menjadi Arranger dan Recording Programmer.

Pengalaman Henri Lamiri pada International Tours:
1. Perancis (Mandiri)
2. Kuala Lumpur (Yamaha Festival)
3. Kuala Lumpur (Sheila Majid)
4. Brunei Darussalam (Ultah Sultan H. Bolkiah Ke-50)
5. Hongkong (Mandiri)
6. Australia (Konser Chrisye & Erwin Gutawa)


9. The Fingers



Para penggemar musik jazz pasti akan sangat tertarik untuk melihat band yang satu ini. Dengan ciri khas dua bassist dan aliran musiknya yang khas, band ini mampu menghasilkan karya-karya yang memukau bahkan nama mereka sudah sampai ke mancanegara. Mereka adalah Indro and The Fingers. Band tersebut dibentuk Indro Hardjodikoro, musisi jazz yang sudah tidak asing lagi di tanah air. Indro mengumpulkan keempat temannya yang lain, yang masih muda, untuk membentuk sebuah band instrumental beraliran jazz. Pada pertengahan 2010, Indro and The Fingers terbentuk dan memulai kiprahnya. Satu hal yang menarik dari band ini adalah adanya dua orang bassist (pemain bass) yang bermain bersamaan dalam setiap lagu. Hal ini membuat musik mereka berbeda dari musik-musik beraliran jazz kebanyakan. Penggunaan dua orang bassist ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh kesulitan Indro ketika tampil pada saat ia bersolo karir. Jadi ceritanya, pada saat ia ingin improvisasi, tidak ada suara bass yang mengiringinya. Kemudian muncullah ide untuk menggunakan bassist lain sebagai pengiring suara improvisasi bass-nya. Hasilnya ternyata sangat bagus. Musik yang dihasilkan menjadi sangat unik. Indro and The Fingers menyebut aliran musik mereka sebagai fusion-jazz, yaitu jazz yang dapat berfusi dengan aliran musik lain, seperti rock dan etnik. Tahun lalu, mereka tampil di sebah acara musik di Rusa. Di neger beruang merah itu mereka membawakan dua lagu etnik Indonesia, yakni Panon Hideung dan Janger. Ada cerita menarik dibalik dinyanyikannya lagu itu. Menurut cerita Indro, ternyata lagu Panon Hideung aslinya adalah lagu dari Rusia yang berjudul Ochie Chorney, yang artinya mata hitam atau black eyes. Menurut Indro lagu itu masuk ke Indonesia pada dekade 20-an ketika hubungan antara Indonesia dengan Rusia sangat dekat. Sedangkan lagu Janger dipilih dengan alasan lagu tersebut berasal dari Bali dan dunia internasional sangat mengenal Bali, bahkan lebih mengenal Bali dibandingkan Indonesia sendiri. Indro melihat bahwa lagu-lagu etnik Indonesia sangat bagus apabila di-mix dengan sentuhan musik jazz. Sayangnya, musik-musik unik perpaduan etnik dengan jazz atau pun aliran musik lainnya ini tidak dilirik oleh industri musik itu sendiri. “Kalo industri kita kan maunya pop atau melayu aja, akhirnya musisi-musisi kita pada mencari eksistensi di luar (negeri),” ujar Indro.

Musik Oriental (Jepang)

MUSIK ORIENTAL
               Musik oriental berkembang di Cina,Korea,dan Jepang.Keunikan musik Cina dan Jepang terletak pada instrumen,khususnya alat musik string baik yang dipetikk maupun yang digesek.Tangga nada yang digunakan adalah tangga nada pentatonis.Suara alat musiknya ketika dimainkan aka menimbulkan suara yang ekspresif.


Musik Jepang pada zaman dahulu sangat terpengaruh perkembangan musik daridaratan Cina dan Semenanjung Korea, tetapi lama kelamaan mempunyai sifat dancirri tersendiri. Ragam musiknya banyak digunakan di kuil-kuil, untuk memuja dewa,di istana, dan untuk hiburan sosial.
Orkes gagaku (musik Jepang masa lampau) telah ada sejak abad ke-8. orkes gagakuterdiri dari 17 musisi yang bermain instrument tiup kayu, petik, dan perkusi.Instrument tiup meliputi flute(ryuteki), oboe(hichiriki), dan harmonica mulut (sho).Instrument petik terdiri dari kecapi bengkok(shoko) dan drum besar(taiko).Sekitar abad ke-15 musik instrument tunggal, shamisen dan koto menjadi popular khususnya untuk memberikan iringan lagu dan drama musik. Perkembangan musik drama mencapai keemasannya pada abad ke-17, dengan format kabuki dari musik teater tradisional jepang.Adanta restorasi Meiji pada pertengahan abad ke-18 membuat pengaruh Barat mulaimasuk dalam perkembangan musik Jepang. Banyak format musik tradisonal Jepangdikembangkan berdasarkan format musik barat, sehingga Jepang telah memasuki perkembangan musik modern.


Jenis Musik :

Musik Jepang dapat dikelompokkan dalam dua katagori, yaitu:
Musik Tradisional

Musik tradisional Jepang pada umumnya berbentuk musik festival religius,nyanyian bekerja, dan pengiring tarian. Pertujukkan rakyat, seperti tarian bertopeng, teater rakyat dan tarian rakyat merupakan bagian tak terpisahkandalam musik tradisional.

Musik Modern

Musik modern jepang dimulai pada tahun 1867, setelah Matsuhito Meijimenjadi kaisar Jepang. Satu guru yang bertanggung jawab untuk mengenalkangaya musik Eropa adalah Suzuki Shin’Ichi. Beliau menemukan metode pengajaran biola untuk anak-anak yang diadopsi dari sekolah musik di amerika serika
t .
Alat musik tradisional Jepang : SHAMISEN,KOTO & SHAKUHACHI

Tentang sejarah KOTO
KOTO adalah alat musik yang menyerupai kecapi di Indonesia, disebutkan masuk ke Jepang sejak abad ke-7. Di masa itu, KOTO dimainkan sebagai salah satu bagian musik Istana. Formasi KOTO yang dimainkan sebagai alat musik tunggal, tanpa iringan alat musik lain, menjadi populer di masyarakat sejak abad 17. Pada abad 17 lahir maestro KOTO dan pencipta “HACHIDAN”(delapan babak)”dan “MIDARE” (lagu berirama lepas) YATSUHASHI KENGYO. Ia menciptakan pakem dasar untuk SOKYOKU (lagu-lagu KOTO).
Pada dasarnya musik tradisional Jepang memiliki 5 tangga nada, kurang 2 tangga nada dibandingkan dengan musik barat yang mempunyai 7 tangga nada “do re mi fa so la si”. Namun, musik Jepang tradisional juga menyerap beragam tangga nada lainnya sehingga menghasilkan irama yang sangat berbelit. Dasar-dasar musik istana atau musik aristokrat diciptakan dengan menggunakan nada “do re mi so la” atau “re mi so la si”. Cara ini disebut “YO-ONKAI” yang memiliki nada yang relatif riang. Sedangkan YATSUHASHI KENGYO membuat “HIRAJOSHI” atau nada datar yang di dalam tangga nadanya menggunakan “mi fa la si do” yang di antaranya ada semitone sebagai nada dasar. Nada ini disebut “IN-ONKAI” yang lebih sendu dan menggugah emosi sehingga masyarakat Jepang di jaman itu kerap terharu mendengarkan nada ini. Setelah YATSUHASHI KENGYO memperkenalkan “HIRAJOSHI”, SOKYOKU sangat berkembang dan dicintai sehingga diakui sebagai musik rakyat Jepang.
YATSUHASHI KENGYO bisa disebut sebagai pencipta SOKYOKU dan meninggal dunia pada tahun 1685. Jika kita menengok ke negara barat, Bach, yang dikenal sebagai pencipta musik barat lahir pada tahun saat YATSUHASHI KENGYO meninggal.
 
Seputar alat musik KOTO
Bagian badan terbuat dari “KIRI” atau kayu paulownia yang dilubangi bagian dalamnya. KOTO memiliki 13 dawai. Karena KOTO menggunakan 5 tangga nada maka dengan 13 dawai biasanya KOTO dapat menghasilkan sekitar 2.5 oktaf. Antara bagian badan dan dawai ada “JI” sebagai penyangga dawai. Jika “JI’ digeser maka hasil suara pun berubah. Mengatur nada (tuning), yang merupakan persiapan dasar untuk permainan Koto, juga dilakukan dengan menggeser posisi “JI”. Selain “HIRAJOSHI”, ada berbagai aturan nada(tuning) yang dikembangkan dari “HIRAJOSHI”.
Dengan menggunakan tangan kiri yang menekan dan menarik dawai, tangga nada dapat berubah atau pun menghasilkan suara bernuansa vibrato. Pada awalnya dawai dibuat dari sutera, tetapi zaman sekarang dawai juga menggunakan bahan lain seperti bahan sintetis. Pemain dapat menggunakan “TSUME” atau kuku palsu untuk 3 jari di tangan kanan. Pada dasarnya KOTO dimainkan dengan menggunakan “TSUME” yang terkadang digunakan pada jari lain atau pun pada jari-jari di tangan kiri. Di dalam lagu SOKYOKU terkadang ada juga suara nyanyian.
KOTO memang dimainkan bukan untuk mengiringi nyanyian, tetapi suara nyanyian juga dianggap sebagai salah satu jenis alat musik. Dalam artian, alat musik dan suara sama-sama dianggap berperan penting untuk menghasilkan musik. Di Jepang, sejak zaman dahulu hingga saat ini KOTO sering diibaratkan sebagai “RYU” atau “Naga” sehingga bagian-bagian alat musik ini juga dinamai “RYUKAKU” (tanduk Naga), “RYUKOU” (mulut Naga), “RYUBI” (ekor Naga), dll. Di berbagai negara di Asia, naga dihormati seperti dewa dan dianggap sebagai mahluk mitos spiritual tinggi. Dengan demikian bisa dibayangkan bila KOTO juga sangat dicintai oleh masyarakat Jepang.

Seputar alat musik SHAMISEN
Orang Jepang kerap tergetar ketika melihat bentuk SHAMISEN yang sangat indah, bahkan ada yang berkata bahwa bentuk ini terinspirasi dari bentuk tubuh wanita. SHAMISEN mempunyai 3 dawai dengan ketebalan berbeda. Dawai yang paling tebal menghasilkan suara yang paling rendah dan dawai yang paling tipis menghasilkan suara yang paling tinggi.
Di antara bagian badan dan dawai ada “KOMA” untuk menghasilkan suara SHAMISEN. Waktu memainkan SHAMISEN kita harus memegang BACHI-pemetik dawai-dengan tangan kanan, dan menyapu dawai dari arah atas ke bawah atau dari arah bawah ke atas dengan ujung BACHI sehingga mengeluarkan suara. SAO yang panjang ini adalah bagian penampang kayu (fingerboard/neck) yang dipegang oleh tangan kiri. Pada bagian SAO tidak ada tanda untuk menunjukkan posisi tempat pegangan, tidak seperti gitar yang mempunyai fret. Pemain dapat menghasilkan suara SHAMISEN yang tepat dengan mengandalkan intuisi serta pendengaran yang dihasilkan dari pengalamannya. Bagian yang dipegang untuk menghasilkan suatu nada di dalam SAO ini disebut “TSUBO” atau “KANDOKORO”. Dengan tangan kiri pemain bukan hanya menekan dawai, tetapi juga menjepit dan meluncurkan jari serta menggoyangnya untuk merubah nada. Cara lain adalah dengan mengetuk dan memetiknya.
SHAMISEN terbuat dari “KOBOKU” atau ”Red Sanders” sejenis kayu yang sangat keras berasal dari India Selatan untuk menahan kuku pemain yang mencengkeram kuat. Dawai terbuat dari sutra dan “DO” (bagian badan) dibuat dari kulit binatang. Memang hampir semua alat musik tradisional Jepang seperti SHAMISEN dibuat dari bahan-bahan alami. SHAMISEN yang dimainkan menggunakan BACHI (pemetik dawai) berasal dari “SANSHIN”, alat musik tradisional daerah OKINAWA (daerah paling selatan di Jepang) yang menggunakan kulit ular. Pada abad 16 SANSHIN sudah populer di OKINAWA dan bentuk ini berkembang menjadi SHAMISEN khas Jepang yang dikenal saat ini. SHAMISEN tidak seperti KOTO yang berawal sebagai alat musik istana,yang dimainkan oleh kalangan elit. Dari awal SHAMISEN berkembang sebagai alat musik di antara kalangan rakyat biasa.
Musik SHAMISEN memiliki berbagai genre dan ada beberapa jenis alat SHAMISEN yang ukuran dan ketebalannya berbeda. Genre musik SHAMISEN yang akan dimainkan hari ini termasuk dalam kategori “JIUTA”. Ada jenis musik SHAMISEN yang berkembang sebagai pengiring atau suara efek di teater, tetapi “JIUTA” ini berkembang sebagai musik murni yang dimainkan bersama KOTO atau SHAKUHACHI, alat musik tiup tradisional Jepang. “SANKYOKU” adalah salah satu bentuk musik “ansambel” yang dimainkan menggunakan tiga alat musik tradisional Jepang yaitu SHAMISEN, KOTO dan SHAKUHACHI. Diperlukan waktu cukup lama sampai terlahir ansambel tiga alat musik ini karena masing-masing sudah dikenal masyarakat sebagai alat musik tunggal. Namun demikian, bergabungnya tiga alat musik ini, justru menghasilkan kualitas musik yang lebih kaya dan meluas.

Seputar alat musik SHAKUHACHI
Model SHAKUHACHI (seruling Jepang) yang dikenal masyarakat saat ini disebut “FUKESHAKUHACHI”, berasal dari zaman pertengahan era KAMAKURA. Pada zaman tersebut seorang biksu ZEN bernama Kakushin, belajar di negeri Cina dan mempelajari lagu SHAKUHACHI untuk menyampaikan ajaran FUKE, guru agama Budha aliran ZEN. Kakushin mempelajarinya dari seorang guru Cina, CHOSHIN, dan membawa pulang lagu dan alat musiknya ke Jepang. Sejak itu SHAKUHACHI digunakan sebagai alat penyebaran agama oleh biksu-biksu aliran HOTTOHA RINZAISHU, salah satu bagian dari aliran ZEN. Dari sejarah ini juga bisa diketahui bahwa semua lagu klasik SHAKUHACHI yang disebut “SHAKUHACHI KOTEN HONKYOKU (lagu klasik khusus SHAKUHACHI)” memuat ajaran agama Budha Zen. Ukuran panjang FUKE-CHAKUHACHI adalah kurang-lebih 54cm atau dalam satuan ukuran tradisional Jepang,1 SHAKU 8 SUN. Namun akhir-akhir ini ukuran panjang SHAKUHACHI bervariasi dan nada dasar ditentukan berdasarkan ukuran panjang tersebut.
SHAKUHACHI dibuat dari bambu, di bagian dekat akar, dengan diameter 3.5cm-4,0cm. Ada 5 lubang, 4 di bagian depan dan 1 di bagian belakang. Sisi dalam SHAKUHACHI digosok sampai halus, bahkan belakangan ini bagian dalamnya diolesi SHU-URUSHI (bahan pewarna alam berwarna merah) atau KURO-URUSHI (bahan pewarna alam yang berwarna hitam), agar menghasilkan suara yang halus dan indah. Dulu, bagian mulut SHAKUHACHI dipotong menyerong, tetapi sekarang pada bagian mulut dipasangi tanduk rusa atau kerbau supaya lebih kokoh. SHAKUHACHI merupakan seruling yang dapat menghasilkan warna suara yang bervariasi dan nada suara yang paling sensitif di antara seruling tradisional Jepang, baik seruling tiup samping (horizontal) maupun seruling tiup depan (vertikal). Oleh karena ciri khas itu SHAKUHACHI mempunyai posisi tersendiri di dalam alat musik tradisional Jepang.


Kimigayo
Kimigayo (Jepang君が代 kimigayo?), dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai "Semoga kekuasaan Yang Mulia berlanjut selamanya", adalah lagu kebangsaanJepang. Ia adalah salah satu lagu kebangsaan yang terpendek di dunia, dengan panjang hanya 11 bar dan terdiri dari 32 karakter huruf saja. Lagu ini ditulis dalam sebuah metrumJepang Waka, sedangkan liriknya ditulis dalam zaman Heian (794-1185) dan melodinya ditulis pada akhir zaman Meiji. Melodi yang ada saat ini dipilih pada tahun 1880, dan menggantikan melodi sebelumnya yang tidak populer, yang digubah sebelas tahun sebelumnya.
Meskipun Kimigayo telah lama menjadi lagu kebangsaan de facto Jepang, lagu ini secara hukum baru diakui resmi pada tahun 1999 dengan disahkannya undang-undang mengenai bendera nasional dan lagu kebangsaan Jepang. Setelah ditetapkan, terdapat kontroversi mengenai diputarnya lagu kebangsaan tersebut pada perayaan-perayaan di sekolah umum. Kimigayo, seperti juga bendera Hinomaru, oleh beberapa pihak dianggap merupakan simbol dari imperialisme dan militerisme Jepang.

  

Kerikil Sazare-Ishi dipercaya berubah menjadi batu karang dalam beberapa legenda. Foto di KuilShimogamo di Kyōto.
Lirik lagu ini pertama kali muncul dalam sebuah antologi puisi bernama Kokin Wakashū, sebagai sebuah puisi yang anonim. Meskipun sebuah puisi anonim bukanlah tidak lazim pada waktu itu, identitas pengarang yang sebenarnya mungkin saja sudah diketahui, tetapi namanya mungkin sengaja tidak disebutkan karena berasal dari kelas sosial yang lebih rendah. Puisi ini dicantumkan dalam berbagai antologi, dan dalam periode selanjutnya digunakan sebagai lagu perayaan oleh orang-orang dari semua lapisan sosial. Tidak seperti bentuknya yang digunakan untuk lagu kebangsaan saat ini, puisi ini awalnya dimulai dengan "Wa ga Kimi wa" (Engkau, Yang Mulia) dan bukannya "Kimi ga Yo wa"(Kekuasaan Yang Mulia). Perubahan lirik terjadi pada zaman Kamakura.
Pada tahun 1869 di awal zaman Meiji, seorang pemimpin band militer Irlandia bernamaJohn William Fenton yang sedang berkunjung ke Jepang menyadari bahwa Jepang tidak memiliki lagu kebangsaan nasional. Ia menyarankan kepada Iwao Ōyama, seorang perwira dari Klan Satsuma, agar menciptakan lagu kebangsaan tersebut. Ōyama setuju, dan memilihkan liriknya. Lirik yang terpilih memiliki kemiripan dengan lagu kebangsaan Inggris, kemungkinan karena adanya pengaruh dari Fenton.  Setelah Ōyama memilih lirik lagu kebangsaan, ia kemudian meminta Fenton untuk menciptakan melodinya. Setelah diberikan hanya tiga minggu untuk menggubah lagu dan hanya beberapa hari untuk berlatih, Fenton menampilkan pertama kalinya lagu kebangsaan itu di depan Kaisar Jepang pada tahun 1870. Ini adalah versi pertama Kimigayo, yang disingkirkan karena melodinya dianggap "kurang khidmat". Namun, versi ini masih tetap diperdengarkan setiap tahun di Kuil Myōkōji di Yokohama, tempat Fenton pernah menjabat sebagai pemimpin band militer. Myōkōji berperan sebagai tempat peringatan bagi Fenton.
Pada tahun 1880, Biro Rumah Tangga Kekaisaran menyetujui suatu melodi baru yang ditulis oleh Yoshiisa Oku dan Akimori Hayashi. Komposer versi ini sering tertulis sebagaiHiromori Hayashi, yang sesungguhnya adalah ayah dan sekaligus atasan dari Akimori. Akimori juga merupakan salah satu murid Fenton. Meskipun melodi ini dibuat berdasarkan pada bentuk tradisional musik istana Jepang, namun ia digubah dalam gaya campuran yang terpengaruhi oleh himne Barat, dan menggunakan beberapa elemen dari aransemen Fenton. Musisi Jerman Franz Eckert kemudian menerapkan harmoni melodi gaya Barat (mode Gregorian), sehingga menciptakan versi Kimigayo yang dipakai sekarang. Pada 1893, berkat usaha Departemen PendidikanKimigayo masuk dalam perayaan-perayaan di sekolah umum. Kimigayo dimainkan di nada C mayor, menurut harian The Japan Times.

Lirik lagu “Kimigayo”


Kimi ga yo wa

Chiyo ni,
 
Yachiyo ni
 
Sazare ishi no,
 
Iwao to narite,

Koke no musu made.