Minggu, 12 Maret 2017

9 Musisi Ethnik Modern 'World Music' Dari Indonesia 



+++++

Teman-teman pasti pernah mendengar musik ethnik atau yang biasanya dikenal sebagai musik tradisional. Nah, pada kesempatan kali ini saya ingin membahas mengenai siapa saja sih musisi ethnik yang terkenal di Indonesia & di mancanegara, karena genre/jenis musik yang satu ini merupakan peleburan serta pencampuran antara jenis musik modern & musik ethnik, penasaran kan !! yuk kita lihat siapa saja sih 9 musisi tersebut, cekidot :


1. Tohpati Etnomission



Etnomission adalah lanjutan eksplorasi Tohpati terhadap musik tradisi yang telah ia mulai di dua album terakhirnya. Tohpati Ario Utomo, begitu nama lengkap gitaris kelahiran Jakarta 25 Juli 1971 ini akan menampilkan komposisi dengan atmosfir Indonesia yang lebih modern. Dibanding yang sudah, eksplorasi di proyek ini lebih dalam dengan bagan yang lebih kompleks dan lebih kental warna etniknya. Ekspresinya juga lebih liar dan tidak ada tuntutan komersial. Meski bermain di wilayah idiom musik etnik, Bontot, begitu kerap ia disapa, tetap mempertahankan musiknya di koridor diatonis. Pementasan di Bentara Budaya adalah penampilan kedua gitaris yang pernah bermain bersama kuartet jazz Yellowjackets ini dengan konsep Etnomission akan menggandeng bassis Indro Hardjodikoro, Demas Narawangsa (drums), Endang Ramdan (kendang) dan Diki Suwarjiki (suling tradisi) “Saya ingin memperkenalkan seperti apa wujud konsep ini.”


2. I Wayan Balawan



I Wayan Balawan (lahir di Gianyar, Bali, 9 September 1973; umur 38 tahun) adalah pemusik Jazz Indonesia. Balawan adalah seorang gitaris Jazz yang nama mencuat dan semakin difavoritkan di Indonesia dengan teknik bermain gitar Touch Tapping Style. Balawan membentuk Batuan Ethnic Fusion yang mengusung eksplorasi musik tradisional Bali. Sepulangnya Balawan dari Australia, ia kembali ke tanah kelahirannya membentuk band Batuan Ethnic Fusion yang menggabungkan alat musik gitar, drum, bass dengan alat-alat musik tradisional Bali melahirkan sebuah aliran dalam jazz yang akan menjadi ciri khasnya sampai saat ini. Pada masa ini Balawan mulai mengembangkan teknik tapping yang dikenalnya ketika berusaha meniru Eddie Van Hallen pada masa kanak-kanak, ia berusaha memainkan nada-nada jazz dengan pentatonik nada-nada Bali dengan hampir semua jarinya. Perjumpaannya dengan Stanley Jordan dan berkesempatan untuk adu kemampuan makin menguatkan keahliannya dalam memainkan gitar. Bersama Batuan Ethnic Fusion Balawan melahirkan album Globalism dan disusul oleh album-albumnya yang lain.


3. Vicky Sianipar



Viky Sianipar (lahir di Jakarta pada 26 Juni 1976) merupakan seorang penyanyi dan komponis. berkebangsaan Indonesia. Dia merupakan penyanyi bersuku batak. Berkarier di dunia musik sejak tahun 2002. Satu hal yang layak diacungi jempol dari arranger Viky Paulus Sianipar ialah usahanya menjiwai musik Batak. Sebab, sejak kecil, hingga sekarang ini jarang bersentuhan dengan lagu dan budaya Batak. Ngomong Batak saja ia tak pandai. Namun, Viky memiliki lingkungan yang kental dengan adat Batak. Itulah yang membawanya pada tradisi batak dan menghasilkan sebuah pertunjukan bernama Save Lake Toba. Benang merah pertunjukan itu adalah modernisasi lagu klasik Batak. Tidak hanya musik batak yang dikuliknya, bahkan notasi-notasi musik-musik daerah semacam gondrang dari banyuwangi dan not sundanya juga dikuliknya yang tergabung dalam albumnya Toba Dream dan Indonesia Beauty, sahabat yang selalu setia adalah keyboardnya yang selalu menemaninya dalam setiap karyanya.

4. Tangke Band



TANGKÉ Band beranggotakan Subur Dani Meujangeuen (vocal), Joe (Guitar), Putra (Guitar), Doni (Bass), Evans (Drum), Wien (Biola), Andar (Rapa-i), Hafizar (Geudrang), Arif (Rapa-i), dan Kiki (serune Kalee/Fluet). Grup yang beraliran The Modern Etnic Music of Aceh ini sedang menggarap album di Opay Studio (Home Music recording) di Banda Aceh yang perencanaanya diliris setelah lebaran, di antaranya Opening Gura, Saleum, Bala Lam Nanggroe, Meuleuha serta Syair dan Hikayat-hikayat Aceh yang djadikan materi dalam album perdana mereka. Baru-baru ini mereka tampil di sebuah festival world music di Belgia & mendapat sambutan hangat.


5. Yusi Ananda



Namanya belum begitu dikenal di peta musik Indonesia. Tapi Yusi Ananda mampu menembus pasar musik dunia lewat lagu-lagu bercorak World Music. Ketiga Musisi indonesia baru tahap mencoba menjajaki merekam lagu-lagunya untuk dipasarkan di bursa musik internasional, diam-diam Yusi Ananda sudah merampungkan rekaman solo album berjudul Borneo World Music Collection yang diedarkan di Amerika, Eropa, Australia, Asia, dan Afrika. Solo Albumnya diedarkan perusahaan rekaman Peter Music Factory yang bermarkas di Belanda itu, mengemas 12 lagu ciptaannya, antara lain berjudul Busang, Hegemony, Rain Forest, Travelling to Mahakam, dan Leleng. Musik yang disajikannya adalah musik kontemporer. Paduan musik etnik Dayak dan musik modern yang proses penggarapannya dikerjakan di studio miliknya di Samarinda. "Penggarapannya memakan waktu kurang lebih satu tahun, " tutur musisi, pencipta lagu, dan penyanyi ini. "Mulai dari membuat konsep, mencari circle chord-nya sampai menjadi master." Lamanya proses pembuatan lagu-lagu itu, disebabkan oleh langkanya peniup alat musik kadirek. Menurutnya, peniup alat musik yang terbuat dari buah kadirek yang dikeringkan itu, sekarang ini hanya tinggal satu orang. Menetap di pemukiman suku Dayak di Muara Lawa, Kutai, Kalimantan Timur. "Desanya itu hanya bisa ditempuh melalui sungai Mahakam dengan lama perjalanan sehari semalam. Sedangkan kondisi peniup kadirek itu sudah sakit-sakitan. Untungnya orang tua tersebut mengizinkan saya men-sampling bunyi kadirek yang ditiupnya," jelasnya. Selain kadirek, Yusi Ananda juga memboyong sampe. Menurutnya, alat musik tradisional Dayak bertali senar empat yang dimainkannya sendiri, dibutuhkan untuk memperkaya bunyi musik di lagu ciptaannya. Tidak hanya itu. Pria yang sudah merilis album berjudul Damaikan Dunia (95), Jangan Jatuh Cinta (97), dan July - Kenangan Biasa (2000) ini, juga menghadirkan bunyi hujan, petir, dan suara serangga hutan pada lagu-lagunya. "Jadi yang mendengarkan lagu saya akan terbawa perasaanya ke suasana alam," ungkap pria yang mengenyam pendidikan hotel dan turis di Swiss, serta mengambil program MBA di John Luther Business School, USA. Mengenai nilai kontrak albumnya yang dilempar ke pasar musik dunia itu, Yusi Ananda mengaku menerima 15.000 dollar Amerika. Dalam kontraknya itu tertulis, jika albumnya terjual diatas 100 ribu keping, Yusi Ananda akan mendapatkan royalti.


6. Dwiki Dharmawan



Dwiki Dharmawan (lahir di Bandung, Jawa Barat, 19 Agustus 1966; umur 45 tahun) adalah seorang pemusik jazz asal Indonesia berdarah Sunda. Dwiki merupakan salah satu anggota grup musik Krakatau.Pada tahun 1990, Dwiki memutuskan untuk menekuni berbagai musik tradisi Indonesia, dimulai dengan eksplorasinya dengan musik Sunda, tanah kelahirannya dan kemudian merilis album Mystical Mist serta Magical Match. Dwiki juga bereksplorasi dengan berbagai kekayaan tradisi mulai dari Aceh, Melayu, Jawa, Bali, dan musik-musik Indonesia Timur. Pada tahun 2005, Dwiki menjadi co-music director untuk pagelaran musik spektakular Megalithicum Quantum di Jakarta dan Bali. Bersama Krakatau, Dwiki telah melanglang buana ke berbagai benua, di antaranya, Midem-Cannes 2000 Perancis, Sziget Festival 2003 – Hongaria, Lincoln Center Out of Door Festival 2004 – New York, North Sea Jazz Festival 2005 – Belanda, Montreux Jazz Festival 2005 – Swiss serta puluhan penampilan lainnya di Cina, Jepang, Australia, Spanyol, Bulgaria, Romania, Serbia – Montenegro, Republik Ceko, Republik Slovakia, Venezuela, Malaysia, dan Singapura. Musik Krakatau telah mendapat pengakuan secara Internasional, antara lain dari Jurnal Worlds of Music yang diterbitkan di Amerika Serikat yang menyebut Krakatau sebagai bagian penting dari khazanah World Music. Hal ini karena Krakatau dianggap berhasil memadukan gamelan serta musik-musik tradisi Indonesia lainnya dengan jazz dengan pencapaian musikal yang pas. Bersama Krakatau, hingga 2006 Dwiki telah merilis 8 album, yaitu First Album (1987), Second Album (1988), Kembali Satu (1989), Let There Be Life (1992), Mystical Mist (1994), Magical Match (2000), 2 Worlds (2006), dan Rhythm of Reformation (2006). Sedangkan album solo Dwiki adalah Nuansa (2002) didukung oleh musisi kaliber dunia seperti Mike Stern, Lincoln Goiness, Richie Morales, Neil Stubenhaus, Ricky Lawson dan Mike Thompson dari Amerika Serikat serta beberapa musisi Australia seperti Steve Hunter, David Jones dan Guy Strazullo.


7. Sruti Respati



Pernah menjadi Ikon Event Pariwisata kota Surakarta ‘SIPA 2010’ Solo International Performing Art, dipercaya mewakili Indonesia dalam ASEAN-Korean Traditional Music Orchestra dua tahun berturut-turut, bergabung dalam musisi vocal Drama Wayang Swargaloka di bawah bimbingan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, dan masih banyak lagi prestasi dan penghargaan yang didapat wanita berparas ayu asal Solo ini. Namanya Sruti Respati, tak hanya bersuara merdu, jika melihat berbagai pengalaman khususnya dalam dunia pertunjukan dan prestasinya, ia pantas disebut sebagai wanita serba bisa. Satu hal lagi, mengabdikan hidup pada seni dan budaya Jawa, membuat wanita kelahiran 26 September 1980 ini terus bermimpi dan yakin bisa membawa seni budaya Jawa keliling dunia. Dibesarkan dengan budaya tradisi ternyata membawa keuntungan tersendiri. Sejak kecil Sruti sudah aktif dalam berbagai kegiatan seni dan budaya Jawa. Sejak TK sudah sering mengikuti lomba lagu dolanan. Setiap hari ikut ayahnya yang berprofesi sebagai dalang, sampai akhirnya ia dipercaya menjadi sinden dalam setiap pertunjukan ayahnya. Suara merdunya diakui Sruti didapat dari ketekunan ibunya mengajarkan bagaimana cara membawakan lagu Jawa yang baik dan benar. Ia pun semakin serius mendalami dunia tarik suara setelah bergabung dan belajar pada dua komposer terkenal asal Jawa Tengah, Darno Kartawi dan Dedek Wahyudi. Hasilnya penghargaan dan pengalaman bergabung dalam berbagai kegiatan musik pernah dirasakan wanita yang pernah menjadi pengisi suara solist TVC Wonderful Indonesia untuk promosi Pariwisata Indonesia ini. Penghargaan yang membawa nama Indonesia paling berkesan menurut Sruti adalah dipercayanya dia menjadi wakil dari Indonesia untuk ASEAN-Korean Traditional Music Orchestra tahun 2009-2010 lalu. “Aku nyanyi keroncong di depan 11 kepala Negara se-Asean.


8. Henri Lamiri



Hendri Lamiri mulai bermain sejak masih kanak-kanak, karena dibesarkan dari keluarga seniman musik di Pontianak. Hendri dapat menguasai berbagai jenis alat musik sejak umur 10 tahun. Pada umur 6 tahun, Hendri secara khusus tampil solis Biola di hadapan Presiden Soeharto dalam rangka peresmian Jembatan Kapuas di Pontianak. Pada tahun 1982, Hendri menjadi gitaris cilik dan meraih juara bermain gitar pada Porseni (Pekan Olah Raga dan Seni) Tingkat Nasional. Pada tahun itu pula Hendri menjadi solis biola pada Orchestra Pontianak. Hendri belajar music secara otodidak dan memulai karirnya pada tahun 1989 di Jakarta. Selain sebagai Violis, Hendri juga menjadi Arranger dan Recording Programmer.

Pengalaman Henri Lamiri pada International Tours:
1. Perancis (Mandiri)
2. Kuala Lumpur (Yamaha Festival)
3. Kuala Lumpur (Sheila Majid)
4. Brunei Darussalam (Ultah Sultan H. Bolkiah Ke-50)
5. Hongkong (Mandiri)
6. Australia (Konser Chrisye & Erwin Gutawa)


9. The Fingers



Para penggemar musik jazz pasti akan sangat tertarik untuk melihat band yang satu ini. Dengan ciri khas dua bassist dan aliran musiknya yang khas, band ini mampu menghasilkan karya-karya yang memukau bahkan nama mereka sudah sampai ke mancanegara. Mereka adalah Indro and The Fingers. Band tersebut dibentuk Indro Hardjodikoro, musisi jazz yang sudah tidak asing lagi di tanah air. Indro mengumpulkan keempat temannya yang lain, yang masih muda, untuk membentuk sebuah band instrumental beraliran jazz. Pada pertengahan 2010, Indro and The Fingers terbentuk dan memulai kiprahnya. Satu hal yang menarik dari band ini adalah adanya dua orang bassist (pemain bass) yang bermain bersamaan dalam setiap lagu. Hal ini membuat musik mereka berbeda dari musik-musik beraliran jazz kebanyakan. Penggunaan dua orang bassist ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh kesulitan Indro ketika tampil pada saat ia bersolo karir. Jadi ceritanya, pada saat ia ingin improvisasi, tidak ada suara bass yang mengiringinya. Kemudian muncullah ide untuk menggunakan bassist lain sebagai pengiring suara improvisasi bass-nya. Hasilnya ternyata sangat bagus. Musik yang dihasilkan menjadi sangat unik. Indro and The Fingers menyebut aliran musik mereka sebagai fusion-jazz, yaitu jazz yang dapat berfusi dengan aliran musik lain, seperti rock dan etnik. Tahun lalu, mereka tampil di sebah acara musik di Rusa. Di neger beruang merah itu mereka membawakan dua lagu etnik Indonesia, yakni Panon Hideung dan Janger. Ada cerita menarik dibalik dinyanyikannya lagu itu. Menurut cerita Indro, ternyata lagu Panon Hideung aslinya adalah lagu dari Rusia yang berjudul Ochie Chorney, yang artinya mata hitam atau black eyes. Menurut Indro lagu itu masuk ke Indonesia pada dekade 20-an ketika hubungan antara Indonesia dengan Rusia sangat dekat. Sedangkan lagu Janger dipilih dengan alasan lagu tersebut berasal dari Bali dan dunia internasional sangat mengenal Bali, bahkan lebih mengenal Bali dibandingkan Indonesia sendiri. Indro melihat bahwa lagu-lagu etnik Indonesia sangat bagus apabila di-mix dengan sentuhan musik jazz. Sayangnya, musik-musik unik perpaduan etnik dengan jazz atau pun aliran musik lainnya ini tidak dilirik oleh industri musik itu sendiri. “Kalo industri kita kan maunya pop atau melayu aja, akhirnya musisi-musisi kita pada mencari eksistensi di luar (negeri),” ujar Indro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar